2025 adalah tahun kelulusan normal bagi siapa aja yang memulai kuliahnya di tahun 2021, kecuali bagi beberapa orang yang memilih tidak lulus tepat waktu, tapi entahlah, itu pilihan atau bukan, saya serahkan jawabannya pada mereka saja. Lulus di tahun 2025 adalah kemalangan yang dialami hampir seluruh angkatan 21, mungkin, kecuali bagi siapa yang mempunyai privilege kenalan, jaringan, atau saya biasa memakai istilah yang lebih kasar (orang dalem).
Lulus di tahun 2025 secara konteks akademik
semestinya mendapat julukan “mahasiswa lulus tepat waktu”. Tapi di kehidupan nyata,
lulus di tahun 2025 bukan lah tahun yang tepat, di tahun ini ekonomi negara
sedang tidak baik-baik saja, keadaan negara tidak sedang baik-baik saja,
pemerintahan negara tidak baik-baik saja, walaupun pemerintah sering berkata “ekonomi
kita sedang meningkat menurut data”, tapi kenyataannya, belakangan ini adalah
masa-masa sulit bagi siapa saja yang sedang mencari kerja, bagi siapa saja yang
sudah kerja tapi mendapat gaji yang sangat ketat, di masa yang kering ini
justru lebih banyak pedagang daripada pembeli.
19 juta lapangan kerja bahkan sampai sekarang tak kunjung menjadi penawar dahaga, saya tidak tahu pasti, apakah itu hanya pemanis ketika kampanye atau memang visi seorang cawapres waktu itu yang sekarang sudah menjadi wapres.
"Menurut saya sebetulnya itu bisa terealisasi. Nah masalahnya kan kondisi global ini lagi hancur-hancuran. Memang Pak Prabowo Tuhan bisa ngelihat ke depan? (Saat berkampanye di pilpres). Ada yang tahu Presiden Amerika sekarang Donald Trump, kan enggak ada yang tahu. Semua kan gambling semua,” kata pa Noel dibeberapa media.
jadi, secara jujur bahwa lapangan pekerjaan yang dimaniskan itu tak kunjung
datang untuk menjadi hidang, janji itu belum terpenuhi, saya tidak tahu, apakah
janji itu belum terpenuhi atau memang tidak terpenuhi, saya kembalikan jawaban
itu kepada presiden dan wakilnya.
Lalu, lari kemanakah kita setelah lulus kuliah? Percayalah tidak ada tempat yang aman setelah ini, percayalah. Saya jadi teringat konsepnya Zarathustra, oh maaf bukan konsep, tapi semacam nasihat yang hampir saja dibilang sabda oleh beberapa kalangan, bahwa setiap kita harus menekankan diri pada Ubermensch, mengenai kata itu hampir tidak ada terjemahan yang spesifik, tapi saya memudahkannya dengan menyebut “manusia super”, atau jika Nietzsche mengelaborasikannya menjadi konsep “kehendak untuk berkuasa”.
Kedua wacana itu secara subtansial sama,
menekankan bahwa manusia untuk mengapus nilai-nilai konvensional yang bahkan
bisa menghilangkan sifat-sifat kemanusian secara nyata, semacam moral, adab, dll.
Nah, saya coba menyatukan nasihat itu dengan keadaan yang sekarang, bahwa buang semua nilai-nilai yang bahkan bisa menghapus jati diri kita sebagai manusia, artinya secara eksplisit jangan percaya pada pemerintah apapun janjinya, seberapapun yang dijanjikan, atau kapanpun yang dijanjikan, jadi terima saja jika diberi, jangan berharap jika dijanji. Kita punya kuasa atas diri kita sendiri, berteriak kepada pemerintah jika hak secara kolektif tidak diberi, ingat kita menekankan nasihat manusia super, buang nilai-nilai moral konvensional yang menggangu kehidupan kita sebagai manusia.
Sekali lagi, lalu kita akan lari kemana setelah lulus kuliah?
Sampai kapan nama kita mati dan terpendam setelah lulus kuliah?
Tidak usah dipikir, kita kan manusia super hehehe, hidup wacana Ubermensch!
Hidup mahasiswa tangguh yang
kalo rapat sampe tengah malem!!

0 Komentar