Oleh: Tria
Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” begitu kata Bapak Republik Tan Malaka tentang tujuan pendidikan.
Jika kita telaah perkataan Tan Malaka kemudian kita komparasikan dengan realita pada saat ini sangat bertolak belakang sekali, melihat pada saat ini polemik pendidikan sedang gencar-gencarnya terlebih mengenai hak dan pemerataan pendidikan.
Baru-baru ini isu mengenai melonjaknya UKT di PTN menjadi pembahasan yang sangat gemar dibicarakan, alih-alih pendidikan menjadi tempat pencerdasan bagi seluruh rakyat Indonesia akan tetapi malah dijadikan ladang bisnis atau komersialisasi.
Jika menyingkap tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lalu pada Undang-Undang Republik Indonesia
No. 12 Tahun 2012
BAB I Pasal 1: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sudah jelas sekali bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas rakyat Indonesia, tujuan-tujuan tersebut adalah upaya pemerintah untuk menangkal kebodohan entah kebodohan materialis atau kebodohan spritualis.
Namun, pada dasarnya tulisan ini dibuat karena ada beberapa hal yang harus disampaikan oleh khalayak umum agar semua bisa merasakan dan mencatat betul-betul PR apa saja yang kemudian harus dituntaskan oleh pemerintah terkait.
Permasalahan UKT bukanlah masalah yang baru-baru ini muncul dipermukaan, bagi mahasiswa permasalahan ini sudah menjadi isu yang sudah dingin karena hal yang paling bersangkutan dan bersinggungan dengan mahasiswa salah satunya adalah UKT.
Jadi apakah orang yang tidak memiliki cukup finansial benar-benar tidak bisa merasakan nyamanya bangku kuliah? Lalu kemudian jika seperti itu bagaimana tanggung jawab pemerintah mengenai komitmen yang kurang lebih begini "mencerdaskan kehidupan bangsa". Apakah kecerdasan moral, spritual dan juga sikap sudah terjamin?
Kemarin ini ketika sekretaris dirjen diwawancarai mengenai UKT mahal justru melontarkan pernyataan yang kurang enak didengar, "Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Tjitjik Sri Tjahjani yang menyebut pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier, sehingga tidak wajib. Menurut kami pernyataan ini sangat menyayat hati, bagaimana tidak, secara tidak langsung pernyataan tersebut menyinggung keras bahwa yang bisa merasakan kuliah hanya orang-orang yang mempunyai materi lebih, bisa saja orang miskin kuliah tetapi harus melewati syarat dan prosedur rumit agar bisa mendapat beasiswa, itupun jika beruntung. Kami kembali bertanya, apakah akses pendidikan digelar secara eksklusif? Atau inklusif?
Mengingat sulitnya mengatasi polemik pendidikan, kami jadi mengingat insiden di kampus kebanggaan kami yaitu Universitas Singaperbangsa Karawang.
Pada awal tahun 2024 kebijakan-kebijakan pihak Civitas membuat sebagian mahasiswa geleng-geleng kepala, mahasiswa sudah dibebani dengan UKT yang tinggi, bahkan ada beberapa yang tidak sesuai dengan gaji dan penghasilan orang tua, lalu kemudian ditambah dengan sikap penekanan yang dilakukan oleh Civitas akademik seperti ancaman DO dan cuti, ini kemudian yang harus kita refleksikan bersama-sama.
Mari kita tilik bersama-sama mengenai kebijakan yang diputuskan Rektor, pada surat edaran No.136/UN64/SE/2024. Ditulis secara jelas pada poin 5. Mahasiswa yang tidak dapat membayar sesuai dengan tanggal yang ditetapkan maka diwajibkan mengajukan cuti melalui masing-masing Fakultas dengan syarat Mahasiswa tidak memiliki tunggakan lebih dari tiga semester.
Mungkin kita semua memahami bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang akan ditetapkan sudah melewati pertimbangan, akan tetapi jika ditinjau ulang apa yang menjadi keluh kesah, keberatan dan juga teriakan mahasiswa yang memang sedang mengalami kesusahan secara finansial atau materi ini sangatlah menyakitkan, bisa dibayangkan jika ada salah satu mahasiswa yang belum siap uang untuk membayar UKT pada tanggal yang sudah ditentukan akan dipaksa megajukan cuti yang padahal pada semester-semester sebelumya mahasiswa tersebut rutin membayar UKT dan tidak telat, sungguh miris. Kemudian yang sangat disayangkan adalah mahasiswa yang belum bayar bukan berarti tidak bayar, bisa jadi disatu hari setelah tanggal yang sudah ditentukan Mahasiswa tersebut hendak membayar tapi kenyataannya tetap saja mahasiswa tersebut tidak dapat toleransi.
Kembali pada UU No.12 Tahun 2012 pasal 6:
Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip:
a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika;
b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan
kesatuan bangsa; dan seterusnya.
Mari berkontemplasi terkait Undang-Undang tersebut, apakah pihak Civitas Universitas Singaperbangsa Karawang sudah sesuai pada pasal tersebut? Apakah pihak Civitas sudah menanyakan apa saja permasalahan yang dialami oleh Mahasiswanya? Apakah pihak Civitas Universitas Singaperbangsa Karawang sudah menanyakan apa saja kendala pada prosesi pembayaran UKT?
Ini kemudian yang harus dicatat dan dibereskan oleh Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang!
0 Komentar