Belum Tentu Ikhlas, Belum Tentu Mengerti.

 

 


Di Siang yang tidak panas, banyak sekali burung pipit merantau jauh dari pohon, ada yang pergi ke sawah, ada yang pergi ke taman bunga, ada juga yang memilih ke rumah-rumah orang baik. Jujur siang ini ternyata siang yang paling di tunggu-tunggu oleh semua kalangan hewan, termasuk saya.

Belum sempat bersyukur malam sudah datang dengan membawa bulan dan bintangnya yang cantik, aneh sekali. Bagaimana tidak aneh, rasa-rasanya pipit berwarna merah baru saja dapat beras satu butir dari pemilik rumah itu, lantas kenapa malam sudah tiba saja? Aneh sekali, tapi tidak apa, semua itu, semua tentang waktu itu  kita serahkan pada tuhan, ya, benar, Tuhan! Tuhan semesta alam.

Di malam yang indah ini, aku memilih jauh dari siapapun, alih-alih ikut berpesta aku memilih pergi ke sungai yang jauh dari pemukiman semua hewan, di sini tidak ada makhluk yang bernapas satupun, kecuali aku. Aku diam, diam saja melihat angin yang tanpa warna, melihat sedih yang tanpa rupa, melihat risau yang tanpa gejala, aku diam saja tanpa apa-apa.

Sesekali aku berupaya sekeras tenaga untuk berdialog pada Tuhan yang Maha Esa, tapi tidak bisa, sepertinya telingaku yang kurang pekak, sekali lagi aku coba masih tidak bisa. Ah sudahlah, aku memang harus banyak diam. Malam ini terasa sangat panjang, berbeda dengan siang yang terasa sangat singkat sekali, dan rupanya perutku lapar, spontan aku minta makan kepada Tuhan, tentu kepada Tuhan semesta Alam. Beberapa jam aku menunggu makanan tak kunjung datang, apakah tuhan tidak mendengar, atau apakah Tuhan memang malas mendengar suaraku yang serak ini? Oh aku lupa ternyata aku sedang berurusan dengan Tuhan, tidak sepantasnya harus ku suruh ini dan itu, Tuhan jelas tidak mau menghantarkan makanan padaku, jelas-jelas dia Tuhan bukan pembantu, apalagi budak, ah dasar bodoh.

Karena itu aku biarkan perutku terasa lapar, aku lanjut mendiamkan pikiranku, melihat bintang yang perlahan berkedip seolah menggodaku yang sedang diam mematung. Aku diam, memikirkan segala yang ada dan tiba-tiba aku memikirkan para Nabi yang mulia. Apakah mereka ikhlas begitu saja atas ujian yang Tuhan berikan? Apakah Nabi Ayub tidak pernah menangis menahan rasa sakit? Atau apakah nabi Nuh dengan gampangnya mengusap isak tangis karena meninggalkan anaknya yang ternggelam? Atau Apakah Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengeluh atas ujian yang bertubi-tubinya? Atau mengeluh tapi dalam hati? Atau apakah mereka pernah menyendiri lalu meneteskan air mata karena merasa tidak sanggup atas kehidupan? Oh Tuhan aku ikhlas tapi aku bingung.

Tanpa dirasa fajar sudah naik pada ufuknya, ayam sudah bersuara tegas sebagaimana mestinya, angin sudah mulai berkurang, dan pagipun sudah datang. Aku masih lapar, aku mencoba cari makan tapi tidak kuat, aku mengantuk, aku mencoba jalan tapi tidak kuat aku mengantuk, aku mencoba berteriak tapi tidak bisa aku mengantuk, aku pengin tidur di atas mimbar, berpidato seolah utusan Tuhan, lalu berkata, “aku ikhlas tapi aku tidak mengerti, coba biarkan aku tidur di waktu pagi.”

2024, pelataran masjid.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar

Cari Blog Ini