Terlalu Dini

Ada pagi serta mentari, 
Harinya tidak mesti satu.
Bisa Dua, tiga, bahkan
kita tak mesti mengerti

Bisa perlahan, menahan, 
jangan sampai terlihat air yang deras itu jatuh di pipi kanan.
Api yang kecil bisa menyantapmu,
angin yang besar bisa menusukmu
Dan harap yang mewah bisa mengubah menang menjadi kalah, lalu lelah, lalu menyerah. 


Rabu ini sedikit asing, 
perihal kelompok dan golongan, perihal lambang yang dikultuskan, perihal uang yang direbutkan, perihal jabatan yang dipertanyakan, perihal kepercayaan yang dibalas pengkhianatan, perihal teman yang menikam ketika malam, perihal kebodohan para pimpinan, perihal tugas yang enggan hilang, perihal salah masuk golongan, oh maaf salah, perihal yang harusnya tidak bergolong kemudian masuk pada lubang kosong, perihal-perihal.

Air dingin di siang terang memang sangat menghapus dahaga, tapi
aku masih saja kecewa.
Airnya terlalu cepat berubah,
ruangnya cepat sekali kembali sempit
Atau tangannya memang banyak memegang tangan? 
Atau temannya lebih dari sekedar pergaulan? 
Atau memang itu dianggap semacam perlindungan?
Atau memang semuanya membuat nyaman?
Atau, ah sudahlah.

Duduk bersama riuh dingin, 
disambutnya bibir dengan senyum,
sedikit lagi kopi hitam dan sapaan menepuk-nepuk pundak,
sial aku nyaman. Sial.

Tulisan ini akan sangat membosankan jika dibaca selain di hari Rabu, percayalah.
lanjut, di pagi, di hari yang masih dini, segelas risau menghampiri, bertanya beberapa hal yang memang tak pernah kutanggapi. 
Pertanyaan cerdik yang mempunyai momok menyeramkan, 
kapan mulai memilih? 
Kapan mulai menentukan, cokelat atau bunga? 
Seumur hidup takan pernah ku jawab, aku lebih memilih, memilih..
Ya memilih diam dan bingung.

Sekarang ini, jawabku dalam hati, aku lebih menikmati harumnya bunga dan cokelat, bukankah itu hal yang paling selamat? 
bukankah itu yang paling bijak? 
Atau itu perkara yang jahat? 
Ya benar, aku bingung.
justru itu aku memilih diam.

Posting Komentar

0 Komentar

Cari Blog Ini